Senin, 18 Oktober 2010

Sejarah Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat

Coat of arms of Yogyakarta, Java, IndonesiaImage via WikipediaSumber: www.AnneAhira.com

Sejarah Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, bermula dari ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah kekuasaan Sri Sunan Pakubuwana II dan  Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi. Dia kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Dengan disepakatinya Perjanjian Giyanti ini, maka pertikaian panjang antara Paku Buwana II (Raja Mataram) dan Pangeran Mangkubumi berakhir sudah. Namun demikian, perlu dicatat bahwa perjanjian ini merupakan langkah penyelesaian diplomatik  yang difasilitasi oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Boleh jadi, upaya ini merupakan bagian dari politik devide et impera yang dijalankan oleh Pemerintahan Hindia Belanda.

Zaman Belanda dan Jepang
Selanjutnya, sejarah Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat memasuki babakan baru. Ia mendapat status sebagai daerah istimewa dari Pemerintahan Hindia Belanda. Oleh Belanda, status ini disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen
Status ini semacam dependence state, hampir seperti negara bagian. Maknanya, kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian atau kontrak politik yang dibuat oleh negara induk bersama-sama negara dependen.
Kontrak politik terakhir antara negara induk (Belanda) dan  Kerajaan Ngayogyakarta adalah Perjanjian Politik 1940 yang ditandatangani oleh Dr. Lucien Adam mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Sri Sultan HB IX mewakili Kasultanan Yogyakarta, dimasukkan dalam lembaran Negara Kerajaan Belanda sebagai Staatsblad 1941, No. 47.
Perjanjian itu secara tegas menyebutkan bahwa Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, berada di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal. Kerajaan ini juga mewakili Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan pemerintahan sipil di Yogyakarta. Untuk perannya itu, Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat memperoleh biaya operasional dari Pemerintah Hindia Belanda, sebesar 1.000.000 Gulden per tahun.
Status istimewa ini terus disandang oleh Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat selama kekuasaan Hindia Belanda berlangsung. Bahkan, ketika Jepang masuk menggantikan Belanda, Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat tetap diberi hak istimewa semacam itu oleh Jepang, namun dengan sebutan Yogyakarta Kooti Hookookai

Integrasi dengan RI
Setelah Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, mau tidak mau Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat harus menunjukkan sikap politiknya.
Pada19 Agustus 1945, Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan. Intinya, keputusan tersebut adalah bersyukur kepada Tuhan atas lahirnya Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi.
Pada 5 September 1945, Sri Sultan HB IX mengeluarkan amanat yang isinya menegaskan bahwa Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah daerah istimewa yang merupakan bagian dari wilayah Negara RI.
Selanjutnya, Sultan menyatakan dirinya sebagai Kepala Daerah dari daerah istimewa yang wilayahnya melingkupi wilayah Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Setelah Sultan HB IX mengeluarkan amanat ini, selang sehari setelah Presiden Soekarno menyerahkan Piagam 19 Agustus 1945 yang berisikan penegasan bahwa Pemerintah RI mengukuhkan kedudukan Sultan HB IX seperti yang disebutnya dalam amanat 5 September.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi bagian dari Negara RI, dengan status Daerah Istimewa setingkat Provinsi, tetapi bukan provinsi dan bukan pula monarki konstitusional. Sri Sultan HB IX, kemudian diangkat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sampai beliau wafat pada 1988.
Enhanced by Zemanta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar